Gedung Pondok Pesantren

Suasana belajar

Suasana belajar

Sabtu, 20 Desember 2008

Konsep Sekolah Berbasis Karakter

Konsep sekolah kini tidak bisa lagi sekedar berbasis kompetensi akademik. Sesuai perkembangan zaman, para siswa bukan hanya dituntut pintar secara akademik, tapi juga harus peka lingkungan dan berkarakter. Konsep itulah yang seharusnya sudah mulai diantisipasi pihak sekolah.
Kunci sekolah berbasis karakter adalah penanaman tiga hal pokok pada siswa. yakni, konsep diri, perilaku, serta motivasi. Hal itu, lebih tepatnya mulai diterapkan sejak sekolah dasar (SD). Adapun cara agar ketiga hal tersebut terserap oleh siswa secara efektif adalah dengan mengintegrasikan dalam proses belajar mengajar (PBM) setiap hari di sekolah. Contoh pelajaran Biologi, siswa jangan hanya diterangkan mengenai kenapa burung bisa terbang, tapi juga apa yang harus dan tak boleh kita lakukan pada burung. Begitu pula dalam pelajaran Sejarah, siswa tidak hanya diajari bagaimana cara menghafal, tapi juga harus dibina untuk mengetahui manfaat pelajaran itu sendiri. Siswa akan berkembang jika cara pengajarannya seperti itu. Diharapkan tanggung jawab akan muncul dari siswa.
Sosok yang paling berperan dalam penerapan konsep ini bukan hanya guru, tapi juga orang tua. Orang tua harus berperan penuh dalam penanaman bilai-nilai cinta lingkungan di rumah. Sementara guru bersikap proaktif di sekolah untuk memasukkan unsur-unsur empati dalam setiap pelajaran.
Sebenarnya banyak sekolah yang sudah menuju sekolah berbasis karakter. Namun, mereka hanya sebatas menyosialisasikan dan menjadi sisipan. Padahal, seharusnya integrasi sisipan moral harus dimasukkan dalam silabus pendidikan. Artinya, guru harus menyiapkan sedini mungkin materi-materi sisipan dalam pelajaran sebelum masuk kelas atau yang sering disebut sebagai rencana pembelajaran. Sisipan motivasi, konsep diri, dan perilaku pada anak-anak sangat penting. Ini akan menjadikan meraka calon-calon pemimpin.
Penanaman karakter ini diharapkan bisa mengurangi problem berat yang dihadapi anak bangsa. Seperti, masalah ketidakdisiplinan, kurang empati, plagiat, tidak punya konsep diri, serta malas. Yang paling parah sifat inferiornya. Karena itu, motivasi sudah masuk top urgent. Dengan suntikan motivasi, siswa diharapkan dapat mengamalkan ilmu bukan hanya diri sendiri, tapi bisa bermanfaat bagi orang lain.HAL TERBARU
Berbagai bentuk sekolah muncul dengan "Brand" yang bermacam-macam.Ada sekolah yang berbasis IT. Ada juga sekolah yang berbasis tauhid.Aja juga sekolahyang diberi nama sekolah "kreatif",sekolah "terampil" Bahkan ada pula sekolah yang hanya mengandalkanhasil ujian nasional atau sering disebut dengan sekolah berbasis unas.Dari model yang digagas itu sengaja setiap sekolah menjualnama "Brand image". Hendak di bawa ke mana sekolah ini. Atau apa yangmenjadi kekuatan atau kelebihan bagi sekolah ini. Sekolah yangberbasis IT tentunya lebih menonjolkan IT sebagai penguat sekolah.Semua informasi ke orang tua, bahkan pembelajaran, melalui pendekatanIT. Sementara sekolah yang berbasis tauhid, lebih banyak padapendekatan spiritual.Sejak digulirkannya Ujian Nasional untuk SMP dan SMA serta UjianAkhir sekolah Berstandar Nasional (UASBN), banyak sekolah mendisainsekolah berbasis Ujian Nasional. Semua pendekatan pembelajaranmengarah pada hasil ujian akhir. Ranah kognitif menjadi vokus utama.Sementara untuk afektif dan psikomotor terabaikan. Hal ini telahmemunculkan berbagai polimek dalam pendidikan.Lebih tragis lagi, tidak jarang sekolah keluar dari koridor yangsesungguhnya dalam mendidik anak. Berbagai cara dilakukan agar hasilunasnya bisa tercapai maksimal, 100% dengan hasil terbaik. Praktikkecurangan dilakukan untuk membangun kepercayaan ke masyarakat bahwasekolah ini menghasilkan lulusan yang terbaik. Sampai-sampai munculberbagai kasus, ada yang mencuri soal, ada yang memberikan jawaban dikamar mandi, ada yang mengirimkan SMS, bahkan ada yang melakukankerjasama begitu rapi. Guru membuat kunci jawaban kemudian diberikankepada anak yang duduk di depan dan selanjutnya lembar jawabandiangkat supaya bisa ditiru oleh siswa yang di belakangnya. Jikapraktik seperti ini sudah dimulai sejak di SD. Kita bisamembayangkan, bagaimana pendidikan kita jika hal ini terus dilakukan?Bisa-bisa Indonesia akan meluluskan lulusan pembohong. Mudah-mudahanitu tidak terjadi.Berawal dari realita ini, kami mencoba untuk menggagas "SekolahBerbasis Barakater". Kami sangat menyadari bahwa Ujian Nasionalmeskipun mengundang pro dan kontra, tapi ini realita yang sudahmenjadi bagian dari system pendidikan di Indonesia. Dengan tujuanagar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat. Untuk menjawab inisemua, para petinggi pendidikan yang bisa menjawab dengan realitayang ada sekarang ini."Sekolah Berbasis Karakter" kami gagas sejak bulan Januari 2007.konsep ini kami terapkan di Al-Azhar Kelapa Gading Surabaya. Konsepyang berbentuk buku ini telah diberi komentar oleh Mendiknas, Prof.Dr. H. Bambang Sudibyo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Dr.Rasiyo, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Dr. Daniel M. Rasyid.Rektor ITS Prof. Ir. Priyo Suprobo, MS., Ph.D Dan masih banyak lagikomentar dari para tokoh pendidikan di Jawa Timur.Di dalam Buku ini kami berusaha memberikan solusi terhadap masalahyang muncul dalam dunia pendidikan, terutama menyiapkan anak-anakdidik menjadi anak-anak yang memiliki kepribadian utuh. Selain tetappada system yang berjalan, kepribadian anak serta idealisme gurutetap terjaga. Saya tidak berharap dengan adanya sistyem yang adaini, menghapus berbagai potensi yang sudah dimiliki anak. Sehinggaterjadi pembunuhan karakter sejak dini atas nama pendidikan. Lebihjauh lagi, kita semua harus tetap menjaga karakter anak, jangansampai kejujuran mereka ternoda dengan kebohongan-kebohongan untuktujuan sesaat.Kami menuangkan konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasarmanusia dengan menggunakan tiga pilar utama. Pertama, setiap manusiadilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki kecenderungan berbuatbaik. Untuk itulah sifat Rasulullah Muhammad SAW menjadi tauladanyang harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari agar fitrah ituterus terjaga. Jangan sampai karena tujuan sesaat itu merusak fitrahmanusia. Terutama anak-anak kita. Pilar pertama ini adalahpembentukan moral. Kedua, setiap anak cerdas. Artinya, tidak ada anakyang bodoh, semua anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Untukitulah kecerdasan yang berbeda itu perlu dikembangkan sesuai denganpotensinya. Pilar kedua adalah pengembangan kecerdasan majemuk.Ketiga, setiap aktifitas mempunyai tujuan, begitu pula dalampembelajaran. Untuk itu setiap pembelajaran lebih ditekankan padakebermaknaan pembelajaran. Apa artinya anak sekolah apabila tidakmemiliki makna buat anak itu serta ke depan untuk membangun bangsayang bermoral dan berwibawa. Untuk itulah berbagai pendekatan yangmampu menggugah anak untuk belajar mandiri dalam mencapai tujuannya.Kami berusaha mendekatkan antara output dan outcome.Dalam memahami tiga pilar yang ada, sekolah tidak bisa melangkahsendiri. Ketiga pilar itu perlu dukungan dari orang tua. Antarasekolah dengan orang tua saling memberikan dukungan. Dengan demikianakan terwujud sebuah harapan. Dan semua itu tidak lepas dari rasatanggung jawab yang kuat dan kerja keras untuk tujuan membangunkarakter anak bangsa. "Sekolah Berbasis Karakter" ini bisa diterapkanoleh siapa saja. Sebagaimana saran Dr. Rasiyo agar konsep ini bukanuntuk kalangan tertentu, tetapi semua kalangan bisa melaksanakan. Adabeberapa langkah yang bisa diterapkan dalam konsep ini.Pilar pertama: Pembentukan MoralPada pilar pertama ini penekananya pada pembiasaan dan pendampingan.Ada langkah-langkah untuk pembiasaan dan pendampingan: Pertama,memasukkan konsep moral pada setiap kegiatan pembelajaran dengancara: a) Menanamkan nilai kebaikan kepada anak (Knowing the good), b)Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau keinginanuntuk berbuat baik (Desiring the good), c) Mengembangkan sikapmencintai perbuatan baik (Loving the good), d) Senantiasamelaksanakan perbuatan baik (Acting the good). Kedua, membuat slogan-sloga yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah lakumasyarakat sekolah. Ketiga, pemantauan secara kontinyu ataupendampingan guru setiap saat. Pemantauan ini meliputi tiga hal,khususnya dalam soft competence, yaitu perilaku, kosep diri anak, danmotivasi. Keempat, pendampingan orang tua di rumah dengan memberikanpenilaian terhadap perilaku anak di rumah. Selanjutnyadikonsultasikan dengan guru di sekolah.Pilar kedua: Pengembangan Kecerdasan MajemukSetiap anak memiliki kecerdasan. Dengan kata lain, tidak ada anakyang bodoh. Profesor Howard Gardner dalam sebuah penelitiannyamenyatakan bahwa ada minimal 9 kecerdasan yang dimiliki oleh anak.Hal ini memberikan peluang kepada setiap manusia untuk mengembangkansetiap kecerdasan yang dimilikinya. Sembilan kecerdasan itu adalah,kecerdasan spiritual, linguistic, logis-matematik, visual-spasial,kinestetik-jasmaniah, musical, interpersonal, intrapersonal, dannatural.Dengan mengembangkan kecerdasan majemuk di sekolah, maka seorang gurubisa mengetahui gaya belajar anak sesuai dengan kecerdasan yangdimiliki oleh anak sehingga guru juga bisa menyesuaikan dengan gayamengajarnya. Selain itu, guru bisa mengembangkan potensi kecerdasanyang telah dimiliki sebagai benih awal untuk mengarah pada puncakprestasi dan kesuksesan anak. Hal ini dilakukan bersama orang tua.Selama ini masih banyak orang yang terpaku pada tes IQ yang telahdikembangkan oleh Binnet. Hal inilah yang sering membuat orang tuaresah. Dengan hasil tes IQ yang tidak menguntungkan seolah-olah sudahsuramlah masa depan anak. Sejak Daniel Goelman menginformasikan hasilpenelitiannya, bahwa kesuksesan anak 20% ditentukan oleh IQ sementara80% ditentukan oleh Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient(SQ), maka ini dapat mengurangi keresahan orang tua.Pilar Ketiga: Kebermaknaan PembelajaranSekolah haruslah bermakna bagi siswa dan lingkungannya. Apa artinyaanak ke sekolah jika tidak memberikan manfaat. Banyak waktu yangdihabiskan oleh anak di sekolah tetapi tidak mendapatkan apa-apasehingga tidak jarang anak-anak merasa bosan di sekolah dan akhirnyamalas ke sekolah.Untuk mewujudkan agar pembelajaran memiliki kebermaknaan, maka adalangkah-langkah yang strategis untuk dilakukan oleh sekolah atauguru. Pertama, sekolah melihat kebutuhan anak dan masyarakat. Kedua,setiap guru menentukan tujuan materi yang diajarkan kepada anak. Adadua tujuan dalam proses pembelajaran, pertama higt base education,pendidikan yang berorientasi pada kejenjangan. Lulusan memiliki nilaiyang baik sehingga bisa memilih sekolah yang diharapkan. Kedua, broadbase education, pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup.High base education akan menghasilkan output yang baik dan broad baseeducation akan menghasilkan outcome yang berkualitas. Kami mencobamendekatkan antara output dengan outcome.

Minggu, 14 Desember 2008

Pola Asuh Efektif Pola Asuh Anak Dengan Cinta

Pola Asuh Efektif Pola Asuh Anak Dengan Cinta PDF Cetak E-mail

Pola asuh sangat menentukan pertumbuhan anak, jadi hati-hati dalam menerapkannya. Apa, sih, pola asuh itu? Teorinya, menurut Theresia Indira Shanti, Psi.,Msi., pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak. Lebih jelasnya, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya.

Sayangnya pola asuh yang diterapkan orang tua tak selamanya efektif Malah terkadang dampaknya bagi si kecil bukannya baik tapi buruk. Pola asuh yang terlalu protektif atau memanjakan anak tentu menyebabkan anak menjadi tidak kreatif atau jadi selalu tergantung pada orang lain. Makanya perlu berhati-hati menerapkan pola asuh. Perlu diingat pula pola asuh sangat menentukan pertumbuhan anak, baik dalam potensi sosial, psikomotorik, dan kemampuan afektifnya.

SYARAT POLA ASUH EFEKTIF
Jadi bagaimana pola asuh yang efektif itu? Menurut Shanti, pola asuh yang efektif bisa dilihat dari hasilnya. “Anak jadi paham kenapa harus begini atau begitu. Kenapa tak boleh ini-itu. Kelak, anak akan mampu memahami aturan-aturan di masyarakat secara lebih luas lagi. Misalnya, kalau ketemu orang harus menyapa atau bersalaman, “ ujar psikolog dari Unika Atmajaya, Jakarta ini. Nah, syarat paling utama pola asuh yang efektif adalah landasan cinta dan kasih sayang. Tapi bagaimana bentuknya? Berikut hal-hal yang bisa dilakukan orang tua demi menuju pola asuh efektif.

1. Pola asuh harus dinamis
Kenapa? Karena pola asuh harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagai contoh, penerapan pola asuh untuk anak batita tentu berbeda dari pola asuh untuk anak usia sekolah. Pasalnya, kemampuan berpikir batita kan masih sederhana, jadi pola asuh harus disertai komunikasi yang tidak bertele-tele dengan bahasa yang mudah dimengerti. “Adek enggak boleh memukul Eki, karena kalau dipukul itu sakit!” Tapi anak usia SD pastilah tak mau lagi dianggap anak kecil yang bisa dilarang-larang. Jadi apa pun nilai-nilai yang ingin kita tanamkan mesti disertai dialog terbuka karena mereka sudah tak mudah didikte. Berikan alasan konkret. “Kakak, kok, nonton teve terus? “Lagi asyik nih Ma!’” “Iya, Mama tahu, tapi kalau Kakak nonton terus, nanti PR-nya enggak selesai. Terus besok di sekolah bagaimana dong?”

2. Pola asuh harus Sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak
Ini perlu dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat yang berbeda. Shanti memperkirakan saat usia satu tahun, potensi anak sudah mulai dapat terlihat. Umpamanya, kala si kecil mendengarkan alunan musik, dia kok tampak lebih tertarik ketimbang anak seusianya. Bisa jadi, ia memang memiliki potensi kecerdasan musikal. Nah, kalau orang tua sudah memiliki gambaran potensi anak, maka ia perlu diarahkan dan difasilitasi. Selain pemenuhan kebutuhan fisik, orang tua pun mesti memenuhi kebutuhan psikis anak. Sentuhan-sentuhan fisik seperti merangkul, mencium pipi, mendekap dengan penuh kasih sayang, akan membuat anak bahagia sehingga dapat membuat pribadinya berkembang dengan matang. “Kebanyakan anak yang tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan matang, ternyata sewaktu kecil, ia mendapatkan kasih sayang dan cinta yang utuh dari orang tuanya. Artinya, kalau pola asuh orang tua membuat anak senang, tentu anak bisa berkembang secara optimal,” ujar Shanti.

3. Ayah-ibu mesti kompak
Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini, kedua orang tua sebaiknya “berkompromi” dalam menetapkan nilai-nilai yang boleh dan tidak. Jangan sampai orang tua saling bersebrangan karena hanya akan membuat anak bingung.

4. Pola asuh mesti disertai perilaku positif dari orang tua
Penerapan pola asuh juga membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua sehingga bisa dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Tanamkan nilai-nilai kebaikan dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami. Kelak diharapkan anak bisa menjadi manusia yang memiliki aturan dan norma yang baik, berbakti dan menjadi panutan bagi temannya dan orang lain.

5. Komunikasi Efektif
Bisa dikatakan komunikasi efektif merupakan sub-bagian dari pola asuh efektif. Syarat untuk berkomunikasi efektif sederhana kok, yaitu luang waktu untuk berbincang-bincang dengan anak. Jadilah pendengar yang baik dan jangan meremehkan pendapat anak. Bukalah selalu lahan diskusi tentang berbagai hal yang ingin diketahui anak. Jangan menganggap usianya yang masih belia membuatnya jadi tak tahu apa-apa. Dalam setiap diskusi, orang tua dapat memberikan saran, masukan, atau meluruskan pendapat anak yang keliru sehingga anak lebih terarah dan dapat mengembangkan potensinya dengan maksimal.

6. Disiplin
Penerapan disiplin juga menjadi bagian pola asuh. Mulailah dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, membereskan kamar sebelum berangkat sekolah atau menyimpan sesuatu pada tempatnya dengan rapi. Lantaran itu, anak pun perlu diajarkan membuat jadwal harian sehingga bisa lebih teratur dan efektif mengelola kegiatannya. Namun, penerapan disiplin mesti fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan/kondisi anak. Anak dengan kondisi lelah, umpamanya, jangan lantas diminta mengerjakan tugas sekolah hanya karena saat itu merupakan waktunya untuk belajar.

7. Orang tua Konsisten
Orang tua juga bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya anak tak boleh minum air dingin kalau sedang terserang batuk. Tapi kalau anak dalam keadaan sehat ya boleh-boleh saja. Dari situ ia belajar untuk konsisten terhadap sesuatu. Yang penting setiap aturan mesti disertai penjelasan yang bisa dipahami anak, kenapa ini tak boleh, kenapa itu boleh. Lama-lama, anak akan mengerti atau terbiasa mana yang boleh dan tidak. Orang tua juga sebaiknya konsisten. Jangan sampai lain kata dengan perbuatan. Misalnya, ayah atau ibu malah minum air dingin saat sakit batuk.[repro : net/roelly]